Kebijakan menerapkan ujian ulang pada Ujian Nasional (UN) selain ujian utama dan ujian susulan ternyata belum sepenuhnya bisa dimengerti dan diterima oleh semua pihak. Pada akhirnya, kebijakan tersebut terpaksa diterima saja untuk dilaksanakan.
"Apakah adil kalau anak saya di UN utama mendapat nilai bagus dari temannya si B yang tidak lulus karena nilainya rendah, tetapi begitu ikut ujian ulang nilainya malah lebih tinggi dari anak saya?" tanya Eny Mustikarini (46), wali murid yang berdomisili di Perumnas Depok Timur, Selasa (12/1/2010).
Eny menuturkan, tahun ini anaknya akan mengikuti UN dan tengah menyiapkan diri menghadapinya. Bimbingan belajar di sekolah, bimbingan belajar bahasa Inggris di tempat kursus di kawasan Kalibata, bimbingan belajar Matematika dengan seorang guru pribadi, diikuti puteri keduanya, Ayu, siswa kelas III IPA di sebuah sekolah negeri di Depok Timur.
"Buat yang memang kerja keras tentu rasanya tidak fair, sebagai orang tua saya tidak bisa menampik, bahwa itu mungkin akan dialami anak saya sendiri," ujarnya.
Sangat mungkin
Seperti diberitakan sebelumnya di Kompas.com (Jumat/8/1/2010), Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam keterangan pers seusai rapat terbatas yang dipimpin Presiden RI SBY di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Kamis (7/1/2010) lalu, mengatakan, bahwa UN ulang diadakan untuk siswa yang tidak lulus. Siswa diberikan jeda waktu selama satu bulan untuk mempersiapkan diri melakukan ujian ulangan tersebut.
"Yang diulang boleh mata pelajaran yang tidak lulus, atau boleh mata pelajaran secara keseluruhan. Dengan adanya ujian utama, UN susulan dan UN ulang ini, insya Allah sudah mengakomodasi apa yang menjadi perhatian, concern masyarakat secara keseluruhan terkait UN," kata Mendiknas.
Siswa memang boleh mengulang semua atau sebagian saja. Hal tersebut dianggap sah oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), karena kelak yang akan dipakai adalah nilai tertinggi sebagai nilai UN tersebut. Nilai hasil UN sebelumnya otomatis gagal dan tidak bisa dipakai lagi.
Namun, menanggapi pendapat yang diungkapkan oleh Ny Eny tadi, pemerhati pendidikan Darmaningtyas mengatakan, bahwa UN ulang dibuat sebagai akomodasi kritik bagi siswa yang tidak lulus hanya karena satu pelajaran. Dia mencontohkan, jika nilai Matematika buruk, maka nilai UN yang diulang adalah Matematika saja.
"Tetapi, kejadian semacam itu sangat mungkin terjadi dan yang muncul memang perasaan tidak adil," ujarnya.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Kolese Gonzaga Romo Y. Alis Windu Prasetya mengakui, bahwa perasaan tidak fair pada hasil UN ulang itu tentu ada dan dirasakan, baik oleh siswa maupun orang tua murid.
"Tidak semua anak dalam kondisi fit ketika ujian, belum lagi soal stres. Yang fit tentu tidak masalah meskipun itu belum jaminan mendapat nilai bagus, apalagi yang tidak fit?" ujarnya.
Pendapat senada lainnya disampaikan oleh Suwarno, Wakil Kepala SMA 3 Jakarta bidang kurikulum. Bahkan, Suwarno bilang, dia sendiri sempat tidak terpikirkan jika kemungkinan bisa terjadi kasus semacam ini.
"Betul juga, ya, fair dan tidaknya bisa terjadi kalau kasusnya seperti itu. Tapi, untuk sementara nanti kan nilai-nilai yang seperti itu akan dikoreksi oleh pihak PTN," jawab Suwarno.
Cermin Masyarakat
Kepala SMA Kolese Kanisius Jakarta, Rm Heru Hendarto juga mengatakan, kemungkinan hal seperti itu memang ada. Hanya, pada akhirnya persoalan tersebut sebaiknya ditempatkan dalam konteks pendidikan, sebagai evaluasi internal sekolah.
Menurut Heru, sesuai Permendiknas No 75 tahun 2009, UN memang untuk menentukan kelulusan. Terakhir, kata dia, Presiden RI SBY bahkan menawarkan dua opsi penyelenggaraan UN tahun 2010 ini, yaitu UN dan segala macam perniknya dan atau kembali ke pola Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).
"Tapi, kalau balik lagi ke Ebtanas, banyak sekolah yang mempermainkan nilai, karena terbukti semua anak lulus semua. Memang, anak dan guru tidak stres dengan pola ini, tapi apa mungkin diterapkan lagi?" ujarnya
Di mata Heru, semua persoalan terkait UN adalah cerminan masyarakat Indonesia. Bahwa, persoalan UN pun bermuara dari persoalan paling mendasar di masyarakat, yaitu sulitnya memberantas budaya korupsi.
"Memang, semua ini akhirnya bertolak dari permasalahan fundamental bangsa kita itu. Tetapi, kita sebagai pendidik dan pengelola pendidikan harus mengembalikan semuanya pada perjuangan anak-anak didik," ucapnya.
"Saya sudah protes sana-sini, tetapi seberapa besar sih kekuatannya? Wong, yang putusan MA pun tidak ada yang bisa diakomodir," tambahnya.
Apapun yang terjadi, pesan Heru, semua pihak saat ini sebaiknya berjuang bagi anak-anak didik dengan cara-cara yang bermatabat. Yaitu, kejujuran adalah hal utama bagi anak-anak didik.